Swaramanadonews.co, Sulut - Indonesia sebagai negara hukum yang berlandaskan Pancasila memerlukan sistem hukum nasional yang harmonis, sinergis, komprehensif, dan dinamis.
Perwujudannya melalui upaya pembangunan hukum, yang salah satunya adalah dengan merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang saat ini sedang dilakukan oleh Pemerintah bersama DPR.
Hal itu disampaikan Direktur Informasi dan Komunikasi Politik Hukum dan Keamanan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Bambang Gunawan, Selasa (20/9/2022).
“Upaya merevisi dan menyusun sistem rekodifikasi hukum pidana nasional yang bertujuan untuk menggantikan KUHP lama sebagai produk hukum pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda, perlu segera dilakukan sehingga sesuai dengan dinamika masyarakat,” kata Bambang saat acara “Dialog Publik RUU KUHP”, yang digelar secara hibrida dari Manado, Sulawesi Utara.
Dikatakan Bambang, pemerintah telah mulai merancang RUU KUHP sejak 1970. Namun, karena berbagai dinamika politik dan sosial, sampai saat ini belum terealisasi.
“Sejumlah pasal RUU KUHP memunculkan pro dan kontra masyarakat, termasuk dari para pegiat hukum dan mahasiswa. Pada September 2019, Presiden Joko Widodo memutuskan untuk menunda pengesahannya dan memerintahkan peninjauan kembali pasal-pasal yang jadi sumber diskusi,” ungkapnya.
Dalam proses pembahasan terkini, beberapa pasal RUU KUHP yang menimbulkan perdebatan, dan polemik di masyarakat terus dimatangkan melalui berbagai diskusi yang melibatkan pihak termasuk masyarakat.
“Pemerintah sudah menyerahkan draft terbaru RUU KUHP ke Komisi III DPR RI seusai Rapat Kerja dengan Komisi III DPR RI terkait Penyerahan Penjelasan 14 poin krusial dari Pemerintah pada 6 Juli 2022. Komisi III, dalam hal ini fraksi-fraksi, akan melihat kembali penyempurnaan naskah dari pemerintah,” jelas Bambang.
Hal senada disampaikan Guru Besar Universitas Negeri Semarang R. Benny Riyanto, bahwa perlu pembaruan KUHP yang mengikuti perkembangan dan dinamika terkini.
“Langkah ini bukan saat ini saja dilakukan, sudah sejak beberapa periode. Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) adalah badan yang pertama kali melalukan pembaruan,” katanya.
Ia pun menceritakan jika KUHP yang berlaku di Indonesia berasal dari Belanda yang memiliki nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvS) yang kemudian diadopsi menjadi hukum nasional melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Saat itu, katanya, para ahli hukum sadar bahwa produk hukum kolonial Belanda tersebut pasti tidak mampu mengikuti perkembangan kebutuhan hukum yang ada.
“Oleh karena itu, menurut sejarahnya pertama kali upaya untuk pembaruan KUHP ini dimulai pada tahun 1958 dengan dibentuknya LPHN yang kini sudah berganti nama menjadi Badan Pembinaan Hukum Nasional atau BPHN,” jelasnya.
Selanjutnya pada 1964 mulai disusun konsep Buku I KUHP, dan baru pada 2019 RUU KUHP disetujui pada Sidang Tingkat Pertama DPR dan diamanahkan untuk dilanjutkan ke Sidang Paripurna. Namun ada kesepakatan antara DPR dan Pemerintah untuk menundanya.
RUU KUHP juga telah disampaikan ke DPR di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2012, namun belum sempat dibahas. Baru pada 2015, draft RUU KUHP dikirim ulang ke DPR melalui Surat Presiden Joko Widodo Nomor R-35/Pres/06/2015.
“Jadi sejak 5 Juni 2015 itulah RUU KUHP ini dibahas secara intens oleh DPR pada periode 2015 sampai 2019, yang pada ujungnya disepakati pada Sidang Tingkat Pertama DPR untuk diteruskan pada Sidang Paripurna untuk ditetapkan,” jelasnya.
Namun, karena adanya beberapa isu krusial di dalam RUU KUHP tersebut, menindaklanjuti hasil pertemuan antara Presiden dengan Pimpinan DPR dan Komisi III, maka Presiden kemudian memerintahkan Menteri Hukum dan HAM bersurat kepada DPR untuk menunda Rapat Paripurna.
Selama penundaan tersebutlah, Pemerintah terus melakukan konsultasi public hearing secara aktif dan pasif dengan menerima masukan dari Kementerian Kesehatan, Komnas HAM, Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, serta organisasi advokat hingga masyarakat sipil.
“Jadi sebenarnya pemerintah di dalam proses penundaan pengesahan RUU KUHP ini sudah banyak melakukan hal-hal terkait dengan penuntasan beberapa isu krusial yang menyebabkan tertundanya pengesahan di dalam Sidang Paripurna DPR pada 2019 lalu,” ujarnya.
Hasilnya kemudian pada 5 Juli 2022 Pemerintah menyerahkan kembali ke DPR draft RUU KUHP yang sudah mengakomodasi beberapa isu dan mengalami beberapa perbaikan secara redaksional.
Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Harkristuti Harkrisnowo menjabarkan mengenai isu-isu krusial RUU KUHP yang banyak mendapatkan resistensi dari masyarakat. Isu krusial yang pertama adalah masuknya living law atau hukum yang hidup di masyarakat ke dalam RUU KUHP.
Hukum adat tersebut dimasukkan ke dalam RUU KUHP menurutnya karena masyarakat adat merupakan kelompok yang juga diakui di dalam konstitusi. Sementara masuknya living law di dalam RUU KUHP dianggap sebagai satu rekognisi atau pengakuan serta penghormatan pada hukum adat.
“Pertanyaannya, hukum adat yang mana? Nah, dikaitkan dengan living law ini adalah hukum adat yang masih diakui dan masih berlaku dalam suatu masyarakat,” jelasnya.
Namun Ia juga menegaskan jika tidak semua delik adat diadopsi menjadi bagian dari RUU KUHP. Tidak boleh melanggar asas Pancasila, HAM, dan juga asas hukum yang berlaku dalam masyarakat internasional.
“Ini tidak otomatis berlaku, karena ketika KUHP berlaku dua tahun sejak ditetapkannya, maka diberi waktu dua tahun lagi untuk melakukan penelitian-penelitian dan legislasi di wilayah-wilayah yang masih memiliki hukum adat,” jelasnya.
Isu krusial selanjutnya adalah pidana mati. Menurutnya, yang perlu dicatat adalah bahwa dalam RUU KUHP, pidana mati dirumuskan secara alternatif, dengan ada yang disebut sebagai masa percobaan.
“Percobaan masuk ke penjara selama sepuluh tahun, apabila si terpidana mati berbuat baik, tidak melanggar aturan, maka dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara 20 tahun. Jadi ini yang menentukan nanti sementara dari keputusan presiden dengan pertimbangan Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung. Ini untuk mencari kompromi antara mereka yang pro dan kontra pidana mati,” paparnya.
Sementara terkait kebebasan berpendapat, Harkristuti sepakat perlu dibatasi karena Indonesia memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang juga perlu dijaga.
“Kalau kebebasan berpendapat tidak dibatasi, maka orang boleh menghina siapa saja, orang boleh menyebarkan berita bohong kemana saja, ini bahaya sekali, lalu pornografi juga boleh tersebar kemana saja karena itu merupakan kebebasan berekspresi juga. Nah, ini yang kemudian kita cegah dengan membuat aturan-aturan,” jelasnya.
Namun Ia menggarisbawahi jika aturan tersebut tidak berarti membatasi kebebasan pers karena tidak ada pengaturan tindak pidana baru dalam RUU KUHP yang secara khusus ditujukan ke pers.
Pada kesempatan tersebut Harkristuti juga menegaskan pasal penghinaan Presiden dalam RUU KUHP bukan menghidupkan kembali Pasal 134 KUHP tentang Penghinaan Presiden yang telah dianulir Mahkamah Konstitusi (MK). Namun justru mengacu pada pertimbangan dan Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 mengenai Pasal 207 KUHP yang menyatakan bahwa dalam hal penghinaan ditujukan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden selaku pejabat, tetap bisa dituntut dengan Pasal Penghinaan Terhadap Penguasa Umum tapi sebagai delik aduan.
Sementara itu, Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (MAHUPIKI), Yenti Garnasih berpendapat bahwa tujuan hukum pidana sejak awal adalah untuk melindungi kepentingan negara, masyarakat, dan individu.
“Ini penting sekali ada di dalam asas-asasnya. Jangan juga kita mengatakan kenapa hukum mesti harus masuk ke kamar tidur kita? Di kamar tidur itu ada perkosaan, kohabitasi, dan ada yang lain-lain. Meskipun dirinya tidak merasa dirugikan, tidak ada yang dirugikan pribadinya, tetapi bagaimana dengan nilai dalam masyarakat?,” jelasnya.
Ia mengatakan bahwa Indonesia sudah merdeka sejak 77 tahun lalu tetapi masih belum punya KUHP. Ia pun berharap pemerintah, eksekutif, dan legislatif untuk memikirkan masalah KUHP ini.
“Memang BBM, listrik, dan ekonomi itu penting, tetapi semua pembangunan-pembangunan itu kalau ada pelanggaran-pelanggaran pidana, memerlukan penegakan hukum pidana, memerlukan kualifikasi-kualifikasi tindak pidana yang masih relevan untuk Indonesia yang sudah merdeka,” tegasnya.
Acara “Dialog Publik RUU KUHP” turut melibatkan perwakilan dari Lembaga Swadaya Masyarakat, kelompok pemuka agama, Aparat Penegak Hukum, Organisasi Masyarakat, akademisi, serta Badan Eksekutif Mahasiswa di wilayah Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo.
Acara dialog yang diadakan oleh Kementerian Kominfo itu berlangsung juga secara daring melalui aplikasi Zoom dan dapat disaksikan ulang melalui kanal YouTube Ditjen IKP Kominfo.
(ELVIS/*)