SMNC – Mulai tahun 2026, pemerintah mewajibkan seluruh surat tanah dan rumah di Indonesia untuk diubah menjadi sertifikat elektronik. Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi praktek mafia tanah yang semakin meresahkan masyarakat. Informasi ini kini beredar luas di media sosial (Medsos), memunculkan berbagai spekulasi dan kekhawatiran di kalangan masyarakat.
Menanggapi hal ini, Kepala Kantor Pertanahan Kementerian ATR/BPN Minahasa Utara, Yandri Rori S.SiT.MSi, melalui Kepala Seksi Penetapan Hak dan Pendaftaran, Syuhada Biki SP, menjelaskan bahwa sertifikat elektronik justru akan mempersulit aksi mafia tanah. "Jika ada oknum yang mengklaim bahwa kebijakan ini akan mempermudah mafia tanah, justru merekalah yang harus dicurigai sebagai mafia tanah," tegas Syuhada.
Syuhada menambahkan bahwa sistem sertifikat elektronik akan menyimpan data yang terkunci dalam sistem, sehingga mencegah adanya perubahan data tanpa sepengetahuan pemiliknya. Proses perubahan data fisik, seperti pemisahan atau peralihan hak warisan, harus dilakukan dengan persetujuan pemegang hak. "Sertifikat elektronik memiliki tingkat keamanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sertifikat fisik berbentuk buku," tambahnya.
Dengan adanya sertifikat elektronik, masyarakat tidak perlu khawatir akan kehilangan hak atas tanah mereka. Sertifikat elektronik juga dilengkapi dengan sistem keamanan yang sulit dimanipulasi. "Tanah yang tidak segera diurus sertifikat elektroniknya akan terancam menjadi milik negara, karena data yang tidak terdaftar dalam sistem dapat dengan mudah diambil alih," kata Syuhada.
Ia juga memastikan bahwa meskipun sertifikat fisik berbentuk buku tetap berlaku, peralihan ke sistem elektronik akan membuat keamanan data lebih terjamin. Masyarakat diimbau untuk segera mengurus sertifikat elektronik demi menjaga keabsahan dan keamanan hak atas tanah mereka.
(Ani-FL)