Melbourne, 12 April 2025 - Angin musim gugur yang sejuk di Melbourne tak mampu meredam hangatnya suasana yang tercipta di sebuah pertemuan sederhana namun sarat makna. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan metropolitan, sekelompok warga asal Tondano, Minahasa, berkumpul bukan hanya untuk berbagi tawa dan cerita, tetapi juga untuk mengukuhkan satu ikatan yang telah mereka rajut sejak jauh dari tanah kelahiran: Tondano Club Melbourne (TCM).
Ruang pertemuan sederhana itu seketika berubah menjadi potongan kecil dari Minahasa—penuh aroma masakan khas seperti tinoransak yang mengepul dari dapur, nyanyian lagu daerah yang mengalun merdu, dan tentu saja canda tawa yang menggema di antara para hadirin. Mereka bukan hanya warga perantau. Mereka adalah keluarga. Keluarga besar dari negeri nyiur melambai yang kini mencoba mempertahankan semangat Si Tou Timou Tumou Tou di tanah seberang.
Dalam pertemuan yang dilangsungkan pada Sabtu sore itu, suasana khidmat terasa saat pengurus baru TCM untuk periode kedua resmi dikukuhkan. Jerry Pontonuwu, lelaki berdarah Kayuroya, Lembean Timur, berdiri di depan rekan-rekannya, dengan mata berbinar dan suara yang mantap.
"Mohon dukungannya dan mari bersama-sama kita jadikan perkumpulan Tondano ini sebagai ruang untuk saling membantu dan bekerjasama," ucap Jerry, menyiratkan tekad dan kerendahan hati. Ia tak sendiri—bersamanya, Viktor Popon Lalamentik dipercaya sebagai wakil ketua, Eldy Maerah sebagai sekretaris, dan Kelly Korua sebagai bendahara.
Tak kalah penting, sosok-sosok bijak yang menjadi penasehat—Lucky Lexy Kalonta, Roy Moniaga, dan Benny Lompoliu—mengisi peran sebagai pilar kebijaksanaan. Lucky Lexy, salah satu sesepuh yang sangat dihormati, memberi pesan sederhana namun dalam makna: “Kita akan terus bersatu dan saling mendukung, demi tujuan dan program yang baik ke depan.”
Acara dilanjutkan dengan doa bersama yang dipimpin oleh beberapa hamba Tuhan seperti Pdt. Maerah, Pdt. Hence Karamoy, Pdt. Morgan Mumu, dan Ev. Sherly Mentang. Doa-doa itu mengalir penuh harap, memohon agar persatuan ini terus terjaga dan menjadi berkat di negeri orang.
Namun tentu, tak ada pertemuan warga Minahasa yang benar-benar lengkap tanpa makan bersama—dan babungkus. Meja-meja penuh sajian tradisional mengundang siapa saja untuk mencicipi, dari tinoransak yang pedas menggoda, hingga kue-kue manis pengingat masa kecil. Gelak tawa kembali pecah saat sesi foto bersama dan nyanyi-nyanyi lagu daerah dimulai. Lagu-lagu lama, yang dulu mungkin hanya terdengar di pesta kampung, kini kembali mengalun di kota penuh gedung tinggi ini.
Dan seperti yang sudah jadi tradisi tak tertulis, menjelang pulang, keramaian kecil terjadi di sudut ruangan. Kresek-kresek plastik dibuka, makanan dibungkus. “Nda lengkap kalo nda ba bungkus,” celetuk Viktor Popon Lalamentik sambil tersenyum lebar, mewakili semangat warga Touliang Oki dan semua yang hadir hari itu.
Hari itu bukan hanya tentang pelantikan. Tapi tentang rumah yang dibangun bersama, jauh dari kampung halaman. Sebuah rumah bernama Tondano Club Melbourne.