MANADO – Di balik meja kekuasaan dan ruang rapat yang kaku, Gubernur Sulawesi Utara Yulius Selvanus punya cara lain untuk menyampaikan pesan kepemimpinan—melalui denting kayu yang menyatu dalam harmoni Kolintang. Suatu siang di rumah dinasnya, tanpa seremoni besar, Yulius berdiri tegak, mengenakan baju kerja, lalu dengan lincah memegang tiga mallet kecil. Dari bilah-bilah kayu itu, mengalun nada “tong”, “tang”, hingga “ting”—seakan memanggil kembali semangat akar budaya Minahasa.
“Kolintang bukan sekadar alat musik. Ia adalah jiwa, identitas yang tak boleh hilang ditelan zaman,” ucapnya, sambil tersenyum, namun matanya menyiratkan keseriusan.
Warisan ini telah melewati waktu dan upacara, dari pengiring tarian perang sampai instrumen konser. Namun kini, di tangan seorang pemimpin yang juga musisi, Kolintang menemukan panggung baru. Gubernur Yulius menjadikan alat musik tradisional itu sebagai simbol perjuangan budaya—bahwa tradisi harus hidup, tak cukup hanya dipajang dalam museum.
“Budaya harus dimainkan dan dicintai,” ujarnya sambil menunjukkan cara memegang mallet. Memainkannya memang bukan perkara mudah, namun bukan itu intinya. Yang terpenting, menurutnya, adalah rasa—rasa bangga terhadap warisan leluhur.
Melalui program revitalisasi budaya, Yulius membawa Kolintang ke sekolah-sekolah, festival, bahkan acara kenegaraan. Ia ingin generasi muda bukan hanya mengenal, tapi juga memainkan, merasakan, dan menjaga harmoni yang telah diwariskan dari nenek moyang.
Dari jemari seorang gubernur, Kolintang berbicara. Ia menggetarkan panggung, menggema di jiwa rakyat. Sebab selama masih ada pemimpin yang mau menabuhnya, dan rakyat yang mau mendengarnya, identitas Minahasa tak akan pernah pudar.
Mau dibikin versi video narasi juga?